Jumat, 20 November 2009

BLANGKON

DAFTAR HARGA BLANGKON
Blangkon gaya Jogja
[Copy+of+blangkon+(kode+A)+3.JPG] [Copy+of+blangkon+(kode+A)+1.JPG]
Blangkon Jogja (kode A)
ukuran : (dewasa)
harga : Rp 95.000,_
kegunaan : untuk menghadiri upacara adat, koleksi, suvenir, oleh-oleh, dll



Blangkon gaya Solo
[blangkon+(kode+B)+1.JPG] [blangkon+(kode+B)+2.JPG]
Blangkon Solo (kode B)
ukuran : (dewasa)
harga : Rp. 95.000,_
kegunaan : untuk menghadiri upacara adat, koleksi, suvenir, oleh-oleh, dll

Blangkon gaya Solo untuk anak [Copy+of+blangkon+(kode+C)+4.JPG] [Copy+of+blangkon+(kode+C)+3.JPG]
Blangkon Solo (kode C)
ukuran : (untuk anak-anak)
harga : Rp. 82.000,_
kegunaan : untuk menghadiri upacara adat, koleksi, suvenir, oleh-oleh, dll
Hubungi :
simpati = 081-22-7007-444


email : arisnugroho123@gmail.com



WARISAN PUSAKA INDONESIA

BLANGKON JAWA
Simbol Kepiawaian Seorang Pria

Berbeda dengan kopiah yang telah menjadi identitas kesantrian, blangkon lebih dikenal sebagai pakaian tradisional Jawa. Penutup kepala berbahan kain batik ini memang jarang dilihat di luar Yogyakarta dan Solo. Tapi di dua kota itu, blangkon sudah terlanjur merakyat. Bukan hanya untuk acara resmi, dalam keseharian juga banyak warga yang menggunakannya.

Berdasar enskilopedia bebas berbahasa Indonesia, blangkon didefinisikan sebagai tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe, blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu, yang kerap mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala. Sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon.

Kalimat-kalimat sindiran untuk mengartikan sifat boros juga muncul membawa-bawa nama blangkon. Misalnya istilah Jas Buka Iket Blangkon yang artinya sami mawon (semua sama saja). Karena orang yang sudah memakai kain serban di kepala (iket), masih juga memakai blangkon. Kalau keduanya dipakai bersamaan, otomatis jadi pakaian yang dobel-dobel.

Di luar Solo dan Yogyakarta, penggunaan pakaian tradisional Jawa lengkap dengan blangkon masih banyak dijumpai dalam resepsi perkawinan. Bila kaum pria mengenakan tutup kepala blangkon, yang wanita biasanya mengenakan rambut palsu yang dibentuk bulat yang disebut gelung (dalam bahasa sehari-hari).

Bahkan hampir semua petinggi pemerintahan termasuk Presiden RI yang laki-laki pernah memakai blangkon. Selain Susilo Bambang Yudhoyono, Gus Dur juga pernah memakai simbol budaya Jawa ini. Tentu saja Presiden Soeharto dekade lalu tergolong paling sering mengenakan pakaian ini karena, tokoh ini dikenal paling akrab dengan kebudayaan Jawa.

Tak jelas benar, siapa dan kapan topi adat itu diperkenalkan. Yang pasti, sejak jaman dulu hingga sekarang, bentuk blangkon masih tetap seperti itu-itu saja. Di era akhir 2002 atau saat terpuruknya sektor pariwisata akibat maraknya isu terorisme, di Yogyakarta berkeliaran anak-anak muda menggunakan blangkon berekor.

Para turis termasuk penduduk lokal di Yogyakarta sempat bertanya-tanya. Belakangan diketahui bahwa ternyata blangkon berekor itu hanyalah tetenger (pertanda) bahwa mereka adalah anggota pasukan Pamswakarsa. Sebuah organisasai pengamanan bernama Paguyuban Nunggal Karso. Paguyuban yang konon diawaki mantan preman ini sengaja dibentuk untuk mengatasi tingginya angka kriminalitas terutama di Kecamatan Gedongtengen.

Anggota pasukan blangkon berekor ini disebar di sejumlah titik potensial di kecamatan itu. Mulai dari stasiun kereta api Tugu, lokalisasi WTS Pasar Kembang, kampung internasional Sosrowijayan hingga Jl Malioboro. Awak organisasi keamanan itu tidak dipersenjatai. Mereka yang menemui kasus kejahatan tak akan menyelesaikannya sendiri, tapi akan melaporkannya tidak kejahatan itu kepada polisi.

Entah mengapa kreasi blangkon masih terbatas. Padahal kebudayaan lain cenderung berubah mengikuti perkembangan zaman. Bahkan wayang yang biasanya digelar semalam suntuk, belakangan juga muncul wayang kontemporer yang tak lagi dipertontonkan semalaman.

Meski sama-sama berujud penutup kepala, Blangkon memang sulit disamakan dengan kopiah. Pengenalan blangkon di komunitas masyarakat Solo dan Yogyakarta lebih didominasi para punggawa kerajaan setempat. Seseorang yang hendak mendatangi makam raja-raja Surakarta dan makam raja-raja Yogyakarta di Imogiri, Bantul misalnya. Seorang peziarah perempuan wajib mengenakan kemben dan kaum-laki-laki harus mengenakan pakaian surjan dan penutup kepala blangkon.

Sementara, kopiah yang berbahan kain beludru gelap dan dibuat atas modifikasi torbus Turki dengan peci India itu lebih dimassalkan oleh kalangan pesantren. Sebetulnya komunitas Islam pesantren hanya mewajibkan para santri dan pemeluk Islam untuk selalu memakai tutup kepala. Kebiasaan itu dilazimkan sebagai bentuk kewiraian atau kezuhudan seseorang.

Bahkan dalam Kitab Ta'limulmuta'alim ditekankan untuk selalu mengenakan tutup kepala dalam kehidupan. Tetapi oleh pesantren, perintah itu tidak diterjemahkan dalam bentuk sorban atau tutup kepala lainnya, tetapi diwujudkan dalam bentuk kopiah. Santri yang berani menanggalkan kopiah disebut dengan santri gundul (tidak memakai tutup kepala). Santri kelompok ini juga diidentikkan dengan santri badung yang sering melanggar tatakrama, aturan dan pelajaran.

Bahkan era lalu sempat ada aturan tak tertulis yang menyebutkan bahwa santri yang belum haji tidak diperkenankan memakai kopiah putih. Karena itu, para santri akan merasa malu dan tercela bila belum lagi berani menggunakan kopiah haji.

Para santri yang paham kemudian tetap bertahan menggunakan kopiah beludru hitam. Tapi belakangan, aturan itu sudah mulai ditinggalkan. Termasuk tradisi pemakaian kopiah itu sendiri.

Tak jelas benar mengapa sampai kini tak pernah ada kombinasi kopiah dan blangkon. Padahal keraton yang memperkenalkan blangkon itu kerap diidentikan dengan pesantren besar. Bahkan, meski kutbah Jumat pada hari-hari biasa dilakukan oleh imam biasa, tapi pada hari tertentu seperti Jumat Kliwon, dilakukan oleh seorang sultan yang dianggap sebagai imam besar. (Andira)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar